Sunday, April 21, 2019

Hari Kartini

Hari ini 21 April 2019 merupakan hari lahir ibu Kartini yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 atau 140 tahun yang lalu. Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV. Kakek dari R.A Kartini ini merupakan orang yang terpandang (bangsawan) dan posisinya kala itu sebagai bupati Jepara.

Ibunda dari R.A. Kartini bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja. Berdasarkan peraturan kolonial Belanda saat itu yang mengharuskan seorang Bupati menikah dengan sesama bangsawan, akhirnya ayah  Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.

R.A Kartini, diketahui  memiliki saudara berjumlah 10 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, Ia juga berhak memperoleh pendidikan.

Ayahnya menyekolahkan anaknya di ELS (Europese Lagere School). Disinilah ia kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah di sana hingga ia berusia 12 tahun, karena menurut kebiasaan saat itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’. Meskipun berada di rumah, Ia aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda, karena ia juga fasih berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang dibacanya dari surat kabar, majalah serta buku-buku.

Surat-surat yang ditulis Kartini lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi agar bisa lebih maju khususnya di Jawa. Ia melihat contoh kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan perempuan pribumi dan ia juga menuliskan penderitaan perempuan di Jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan RA Kartini.

Pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri. Suami R.A Kartini memahami apa yang menjadi keinginan istrinya itu, sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama. Sekolah itu berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka.

R.A Kartini kemudian melahirkan anak bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun sedihnya,  beberapa hari kemudian setelah melahirkan anaknya yang pertama, R.A Kartini kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904.  Di usianya yang masih sangat muda yaitu 25 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang.

Berkat perjuangan Kartini, kemudian pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama “Sekolah Kartini” untuk menghormati jasa-jasanya. Yayasan tersebut milik keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda.

Sepeninggal R.A Kartini, kemudian seorang pria Belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, mulai mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh R.A Kartini ketika ia aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu. Dari situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul ‘Door Duisternis tot Licht‘ yang kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun 1911.

Berikut quotes2 dari RA Kartini yang menarik untuk dicermati (hasil copy paste dari FB teman)




Salam Ina