Sunday, September 01, 2013

Galau Ditinggal Anak Merantau

Sejak tanggal 13 Agustus 2013 yang lalu, anakku yang ke 2 (cowok) mulai kuliah di Bandung, di salah satu universitas swasta yang dipilihnya sendiri, walaupun dalam hati kecilku berkata kalau universitas swasta ... kenapa nggak di Jakarta aja, kan lebih banyak pilihannya. Untuk meyakinkan bahwa dia serius dengan pilihannya, aku bertanya apakah dia benar-benar mantap dengan pilihan untuk kuliah di universitas tersebut yang berada di kota lain atau istilahnya merantau, jauh dari orang tua, kakak dan adiknya.

Dia menjawab "jika tidak diterima di PTN di Jakarta atau Bandung, saya siap kuliah di universitas tersebut". Ternyata anakku belum beruntung masuk di PTN, sehingga ketika saat untuk kuliah itu tiba (tepat setelah libur lebaran), terasa berat juga perasaanku melepaskan anak untuk hidup di kota lain dan mengurus segala sesuatunya sendiri, walaupun Bandung tidak terlalu jauh dari Jakarta, tapi  hanya di waktu weekend aku baru bisa menjenguknya.

Minggu pertama itu, dia harus mengikuti kegiatan ospek di kampusnya, kami sekeluargapun ikut ke Bandung, karena masih libur lebaran, anak2ku yang lainnya juga masih libur dan kami sengaja mengambil cuti setelah lebaran untuk menemani anakku memulai fase kehidupan barunya sebagai mahasiswa. Kebetulan kamar kostnya juga belum siap untuk ditempati karena rumah kost tersebut merupakan bangunan baru dan belum selesai finishingnya, kami menginap di hotel yang dekat dengan tempat kuliahnya.

Ospek dapat diikutinya dengan baik walaupun dia harus bergadang mengerjakan tugas-tugas ospek bersama-sama teman-temannya. Di hari terakhir ospek, dia merasa perutnya nggak enak, pupnya agak cair, kami pikir nggak apa-apa, cukup minum obat diare saja. Karena kamar kostnya juga sudah dapat ditempati dan cuti kami telah habis, kamipun berangkat pulang ke Jakarta pada hari Sabtu tanggal 17 Agustus 2013, kebetulan hari tersebut aku ada acara halal bil halal dengan teman-teman TK'83.

Rupanya diare anakku masih berlanjut sampai lebih dari 3 hari, aku mulai khawatir setiap mendapat kabar dari anakku, dia juga sering menelpon dan mengeluh seperti menyesali pilihannya untuk kuliah di Bandung. Aku merasa sedih tidak bisa segera menolongnya karena sungkan minta izin meninggalkan kantor, kan baru saja mengambil cuti ... inilah salah satu dilema ibu-ibu pekerja. Akhirnya aku minta tolong pada adik iparku yang ada di Bandung agar membawa anakku ke dokter, walaupun mereka juga sibuk bekerja, tapi mungkin bisa bolos sebentar melihat anakku di tempat kostnya. Sepupunya datang menjemput anakku dan membawanya ke dokter.

Setelah dilakukan test laboratorium, Alhamdulillah, penyakitnya tidak parah, menurut dokter dia hanya kelelahan, kurang tidur, daya tahan tubuhnya melemah sehingga dia jatuh sakit. Mungkin juga dia sedikit stress dalam beradaptasi dengan suasana dan kehidupan baru yang dijalaninya. Dokter memberi izin untuk istirahat, dan  disarankan tidak pulang ke kostnya tapi mengungsi sebentar di tempat tantenya sampai benar-benar pulih. Alhamdulillah kami masih punya keluarga dekat di Bandung yang sewaktu2 dapat diminta bantuannya, kebayang kalau merantaunya jauh dan tidak punya keluarga di kota tersebut.

Kejadian ini membuatku terkenang .... mungkin beginilah perasaan galau, sedih dan khawatir ke dua orang tuaku 30 tahun yang lalu, ketika melepaskan aku pergi merantau kuliah ke Bandung, suatu tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal kami di Bireuen (Aceh). Sendirian pula di kota tersebut tanpa keluarga dekat, walaupun pada saat datang pertama kali aku diantar bapakku. Butuh waktu sekitar 7-8 jam dengan transporasi darat dari Bireuen ke Medan atau Banda Aceh agar bisa naik pesawat terbang, itupun masih sekitar 2-3 jam lagi untuk bisa sampai ke Jakarta dengan pesawat terbang. Untuk bisa sampai ke Bandung dengan kereta api atau mobil butuh waktu 4 -5 jam lagi, kan saat itu belum ada tol Cipularang, sehingga perjalanan darat / mobil harus ditempuh lebih lama dibandingkan saat ini.

Tapi saat itu aku PD aja, mungkin karena sudah terbiasa mandiri, zaman dulu kan sejak dari SMP, anak2 sudah terbiasa melakukan pendaftaran dan mengurus keperluan sekolah sendiri. Sangat jarang orang tua ikut-ikutan ... beda dengan anak-anak sekarang, tepatnya mungkin ibu-ibu zaman sekaranglah yang agak berlebih2an, termasuk aku :(

Sejak anakku tinggal di Bandung, hampir setiap weekend, aku ke Bandung untuk menjenguknya, menyemangatinya dan mengajarkan dia untuk mampu mandiri mengurus segala sesuatunya sendiri seperti memasukkan pakaian ke laundri, membersihkan kamar dan kamar mandi, mempelajari rute angkot dan selalu menasehatinya untuk berhati2 di jalan raya. Kegiatan sehari-hari seperti itu walaupun sepele, mungkin terasa sulit bagi anakku karena ketika di Jakarta, kegiatan tersebut jarang dilakukannya. Pernah sekali waktu aku berkunjung ke kostnya, ya ampun ... pakaian kotornya sudah satu keranjang besar dan katanya dia lupa mengantar ke laundri. Untunglah kehidupan saat ini relatif mudah, di sekitar tempat kostnya banyak jasa laundri kiloan yang biayanya relatif murah, bayangkan jika harus mencuci dan menyeterika sendiri.

Saat inipun aku masih sering menangis, ketika masuk ke kamar tidur anakku yang kosong ditinggalkan sementara oleh penghuninya atau ketika aku makan makanan yang enak2 atau melihat menu kesukaan anakku, tak jarang air mata ini menetes dengan sendirinya .... lebay banget ya :). Semoga aku dan anakku dapat melewati masa adaptasi ini dengan baik dan aku selalu berdoa Semoga Allah SWT selalu melindungi dan memberkahi anakku dimanapun dia berada, semoga Allah SWT senantiasa membimbing anakku tercinta di jalan lurus-Nya dan menganugerahkan kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Aamiin.

Salam Ina

note : gambar diambil dari wanma.com