Innalillahi wainna ilaihi raji'un, betapa kagetnya aku di pagi hari Jumat tanggal 10 Juni 2016 ketika dapat kabar bahwa suami adik iparku telah meninggal dunia, memang beliau sedang sakit dan sudah beberapa minggu sebelumnya di opname di salah satu RS di Bandung. Sayangnya hampir seluruh keluarga belum ada yang bezoek ke RS, karena memang adik iparku tidak memberitahukan rumah sakit tempat suaminya diopname kepada keluarga karena mungkin dia tidak ingin keluarga rame-rame berdatangan ke RS ... yang dapat mengganggu istirahat suaminya yang sedang sakit, kami semua dapat memakluminya.
Beberapa minggu sebelumnya ada lagi berita duka yang dialami saudara lainnya, dia kehilangan suami yang sudah bersama-sama dalam perkawinan selama 30 tahun ... karena suaminya tiba-tiba ingin menikah lagi, dan sang istri tidak mau dipoligami dan memilih jalan perceraian. Innalillahi wainna ilaihi raji'un.
Perpisahan apapun namanya baik karena sebab meninggal dunia maupun karena sebab2 yang lain, pastilah tidak menyenangkan, apalagi harus berpisah dengan suami tercinta, tapi
realitas kehidupan selalu mengajarkan kita, bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, kematian atau perpisahan itu bahkan sering datang secara mengejutkan.
Apapun bentuknya ... lapangan kehidupan adalah
lahan ujian. Tak terkecuali pernikahan tentunya. Ia adalah arena ujian.
Kadang kita diuji dengan kesenangan. Tapi adakalanya ujian itu mencekam.
Ibarat berlayar di tengah laut, kerap angin dan cuaca begitu indah dan
bersahabat menggerakkan bahtera kita. Namun sekali waktu tanpa kita
harapkan, secara mendadak hujan dan badai memporakporandakan seisi
bahtera. Begitulah hidup.
Allah mengingatkan hal itu; “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Kami akan menguji kamu dengan kebaikan dan keburukan sebagai ujian
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(QS 21:35).
Kehilangan pasangan hidup karena kematian ataupun perpisahan merupakan
pengalaman yang menimbulkan luka perih dihati yang cukup dalam sekaligus
menghancurkan kondisi kejiwaan. Kehilangan dalam suatu perkawinan
menimbulkan rasa sakit & kesedihan yang menyertai kepergian
sosok pasangan tercinta. Berbagai perubahan secara fisik, kejiwaan,
ekonomi, harga diri, kesehatan, hubungan dengan kerabat menjadi beban tersendiri bagi mereka yang mengalaminya. Beban itu
menjadi terasa lebih berat jika diiringi perasaan bersalah, merasa gagal dan
hilangnya harapan di masa depan.
Proses pemulihan diri tidaklah mudah, seringkali adanya hambatan dalam
berbagai segi yang lain terlebih jika seseorang harus berjalan seorang
diri. Rasa sakit yang diderita karena perpisahan adalah sama dengan
kehilangan pasangan hidup karena kematian. Terutama jika kematian atau perpisahan itu datang
begitu sangat mendadak dan tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya. Rasa sakit
itu melanda setiap orang yang pernah, sedang atau akan mengalami
kehilangan orang yang dicintainya.
Meski cara kehilangan berbeda-beda,
derita yang ditimbulkan, keterasingan dan kesepian yang dirasakan dapat menyebabkan proses pemulihan & penyesuaian diri sama sulitnya bagi mereka yang kehilangan pasangan
hidupnya karena kematian atau karena perceraian, terlebih lagi karena dalam masyarakat Indonesia masih menganggap hidup berpasangan
sebagai kehidupan keluarga ideal.
Proses kesedihan dan kedukaan kehilangan orang yang dicintainya maupun
yang menyakiti hatinya terkadang bisa dengan mudah untuk disembuhkan
tetapi juga ada yang membutuhkan waktu yang cukup lama, yang menentukan
adalah seberapa besar keridhaan seseorang menerima ketetapan Allah.
Keridhaan adalah mengosongkan hati dari segala hal dan yang ada hanyalah
Allah, tetapi jika kita tidak menerima yang menjadi ketetapan Allah
atas dirinya maka hatinya dipenuhi oleh kesedihan, kedukaan, kebencian
dan kemarahan yang membuat hidupnya semakin terpuruk. Langkah
awal untuk penyembuhan akibat pengalaman pahit dalam hidup adalah
menyadari dan lebih mengenal diri sendiri agar bisa menerima apapun yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT dan juga menggunakan pengalaman tersebut
untuk membantu, mencegah serta menghindarkan orang lain dari
keterpurukan.
Mungkin sikap seorang Siti Hajar selaku istri nabi Ibrahim ‘alaihis salam ketika ditinggalkan pasangannya dapat dijadikan contoh. Ketika ia ditinggal suaminya Ibrahim ‘alaihis salam, di
padang tandus terpencil dengan bayi merah yang masih berada dalam
gendongannya. “Wahai kakanda, benarkah engkau akan pergi meninggalkan
kami sendiri?” tanya wanita itu lirih. Ibrahim hanya mengangguk pelan,
seraya pergi menjauhi istri dan anaknya. Ibunda Hajar jelas penasaran dan cemas, lalu menghambur mengejar
suaminya. “Benarkah yang menyuruhmu Allah ?” desak wanita sholehah itu
sekali lagi. “Benar !” jawab Ibrahim. “Kalau ini perintah Allah, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan
kami,” ujar Siti Hajar mantap.
Lantas perasaan cemas itupun berubah jadi
tenang dan pasrah. Wanita sholehah itu tidak lagi merengek setelah
memahami esensi misi suaminya. Ini tidak lain karena ia sangat mengerti
bahwa pertalian cinta antara dia dengan suaminya karena Allah semata.
Memang, Islam tak melarang seseorang untuk melampiaskan duka atas
sebuah musibah, apapun jenisnya. Termasuk menangisi kehilangan suami.
Tapi jangan terus larut dalam perasaan tanpa berpikir rasional dan
proporsional. Bahwa masalah-masalah baru menyangkut kelangsungan
keluarga perlu segera dipikirkan. Sehingga Rasulullah saw pernah
melarang wanita ke kuburan, ketika para wanita tak mampu mengendalikan
emosi kesedihannya. Tapi setelah itu (ketika wanita Makkah tidak lagi
histeris menangisi kematian anggota keluarganya), ziarah kubur bagi
wanita ... beliau izinkan.
Satu lagi kisah seorang wanita tabi’in yang kehilangan suaminya. Ia
bersikap pasrah tanpa emosional. Para kerabat suaminya justru yang
bertanya cemas. “Apa anda tidak khawatir atas kematian suami anda?”
Dijawab oleh si wanita, “Bukankah suami saya seorang yang ‘tukang makan’
bukan ‘Pemberi Makan’?” jawabnya tenang, lantaran keyakinannya yang
mantap bahwa Allah adalah Penggaransi rezeki yang sebenarnya.
Dua penggal episode kehidupan wanita sholehah di atas, seyogyanya dapat dijadikan sebagai ibroh
(pelajaran). Bahwa kemantapan iman dan kepahaman akan esensi hidup,
membuat seseorang akan bersikap rasional dan proporsional. Akan membuat
seseorang menjadi cerdas, peduli, dan cepat mengambil tindakan-tindakan
realistis mengatasi berbagai problema hidup.
Semoga adik iparku dan saudaraku yang sedang diuji dengan kehilangan suaminya dapat sabar dan kuat serta tetap menjadi wanita sholehah yang menggantungkan hidup dan matinya hanya pada Allah SWT semata.
Salam Ina