Hari ini bertepatan dengan peringatan hari lahir RA Kartini (lahir di Jepara, tanggal 21 April 1879 dan meninggal di Rembang tanggal 17 September 1904), namun karena pandemi covid19 belum juga berakhir walaupun telah berlangsung lebih dari satu tahun, peringatan hari Kartini tahun ini tidak dapat dirayakan secara tatap muka seperti yang biasa dilakukan di sekolah2 atau kantor-kantor, termasuk di kantor tempatku bekerja, peringatan hari Kartini dilakukan secara online melalui aplikasi meeting seperti MS Team atau Zoom, dll.
Tulisan-tulisan mengenai Kartini sudah banyak dikisahkan kembali diberbagai media pada setiap peringatan hari Kartini, untuk itu tulisan di blog kali ini menuliskan biografi singkat seorang perempuan Indonesia yang hebat yang telah berjuang melawan penjajah Belanda jauh sebelum Kartini lahir yaitu Cut Nyak Dhien, tulisan ini adalah copy paste dari artikel di media tirto.id.
Makam Cut Nyak Dhien di Sumedang (copy paste dari SinarPost.com)
Cut Nya Dhien adalah seorang tokoh perempuan Indonesia yang tak
kenal menyerah. Ia dijuluki "Ratu Aceh" lantaran tekadnya yang kuat
dalam melawan kolonial Belanda di Aceh. Ia menghabiskan masa hidupnya dengan
terus melakukan pertempuran. Semua itu ia lakukan demi menggapai cita-cita
bangsa, yakni terbebas dari kekuasaan penjajah.
Kelahiran dan Masa Awal Cut Nya Dhien
Cut Nyak Dhien adalah keturunan bangsawan Aceh, lahir pada tahun 1848 di
kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Saat menginjak
usia 12 tahun, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra Teuku Po Amat,
Uleebalang Lam Nga XIII.
Suaminya seorang pemuda berwawasan luas dan taat kepada agama. Dari
pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Dalam riwayat
sejarah Aceh, Teuku Ibrahim berjuang melawan kolonial Belanda. Atas alasan itu,
Teuku Ibrahim seringkali meninggalkan Cut Nyak Dhien dan anaknya.
Setelah berbulan-bulan meninggalkan Lam Padang, Teuku Ibrahim
datang untuk menyerukan perintah mengungsi dan mencari perlindungan di tempat
yang aman. Cut Nyak Dhien bersama penduduk lainnya kemudian meninggalkan Lam
Padang pada 29 Desember 1875.
Pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim wafat. Kematian sang suami membuat
Cut Nyak Dhien terpuruk. Namun, kejadian itu tak membuatnya putus asa,
sebaliknya menjadi alasan kuat Cut Nyak Dhien berjuang menggantikan sosok
suaminya.
Cut Nya Dhien Bersama Teuku Umar
Selepas kematian Teuku Ibrahim suaminya, Cut Nyak Dhien menikah
lagi dengan Teuku Umar, cucu dari kakek Cut Nyak Dhien. Tidak hanya diikatkan
dengan tali pernikahan, tetapi keduanya bersatu untuk memerangi penjajah.
Bukan karena semata-mata ingin mendapatkan sosok kepala rumah
tangga di dekatnya, tetapi Cut Nyak Dhien beralasan ingin berjuang bersama
dengan laki-laki yang mengizinkannya terjun ke medan perang untuk melawan
Belanda.
Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar menguatkan barisan para pejuang
untuk kembali mengusir "kaphe" Belanda dari bumi Aceh. Keduanya melakukan
pertempuran dengan semangat juang membara. Salah satu keberhasilan mereka yakni
merebut kembali kampung halaman Cut Nyak Dhien. Teukur Umar juga berpura-pura
tunduk kepada Belanda demi mendapatkan pasokan persenjataan yang kemudian
mereka gunakan untuk kembali menyerang penjajah.
Berjuang Sampai Pengasingan
Belakangan, Teuku Umar gugur dalam medan laga di Meulaboh. Suami
keduanya itu gugur karena itikad penyerangannya telah diketahui Belanda sejak
awal.
Meskipun orang-orang terkasihnya telah meninggalkannya, Cut Nya
Dhien terus melangsungkan pertempurannya selama enam tahun. Ia bergerilya dari
satu wilayah ke wilayah lainnya. Selama itu, ia bersama rakyat dan pejuang
lainnya, dihadapkan pada penderitaan, kehabisan makanan, uang, dan pasokan
senjata.
Cut Nyak Dhien dengan keadaan fisiknya yang mulai renta terus
berupaya melarikan diri dari Belanda. Meskipun pada saat itu, pasukan tempurnya
melemah karena ancaman Belanda. Sayangnya, panglima pasukannya, Pang Laot
berkhianat. Ia bersama-sama Belanda mencari keberadaan Cut Nyak Dhien.
Mereka berhasil menemukan persembunyian Cut Nyak Dhien dan kemudian
membawanya ke Kutaradja. Atas permintaan Pang Laot kepada Belanda, Cut Nyak
Dhien mendapat perlakuan baik oleh Belanda.
Gubernur Belanda di Kutaradja, Van Daalen, tidak menyenangi hal
tersebut sehingga Cut Nyak Dhien diasingkan ke pulau Jawa, tepatnya Sumedang
pada 1907. Setahun, masa pengasingannya, Cut Nyak Dhien mengembuskan napas
terakhirnya. Ia menjadi salah satu sosok wanita Indonesia yang patut dicontoh
keberaniannya. Sejak tanggal 2 Mei 1964, Cut Nyak Dhien dianugerahi sebagai
pahlawan nasional.
Salam Ina