Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang kegalauanku sebagai
seorang ibu yang ditinggal anaknya pergi merantau, ternyata anakku di Bandung juga
mengalami kegalauan, gawat juga nih sama2 galau. Kegalauan anakku terutama disebabkan karena dia merasa tidak cocok
dengan jurusan kuliah yang dijalaninya, jurusan tersebut memang bukan pilihan
pertamanya, hal ini membuatnya tidak semangat untuk mengikuti perkuliahan.
Selain itu, dia juga kurang sreg dengan universitasnya, hatinya merasa tidak
tentram karena kebetulan universitas tersebut berafiliasi agama yang berbeda
dengan agama kami, tidak bermaksud SARA lho, tapi itulah yang terjadi pada anakku. Mungkin juga tinggal jauh dari orang tua menjadi salah satu faktor penyebab kegalauannya makin bertambah.
Di minggu pertama bulan September 2013 itu, anakku makin sering bolos, sehari2 dia lebih banyak berada di mesjid, setiap aku telpon menanyakan keberadaannya, dia bilang sedang ada di mesjid, karena hatinya merasa tentram ketika berada di masjid. Aku mulai khawatir, karena kelihatannya psikologis anakku mulai terganggu, katanya dia sering merasa sedih dan putus asa, bahkan sering menangis tanpa sebab yang jelas, waduh ini salah satu tanda stress/depresi. Selain itu anakku juga merasa bahwa kalau dia tetap bersekolah di universitas tersebut, sulit untuk menggapai ridha Allah SWT. Sebenarnya di hati kecilkupun, aku merasa “salah” membiarkan anakku tetap bersekolah di universitas tersebut, sebelumnyapun aku sudah minta dia mempertimbangkan masak2 untuk mendaftar di universitas tersebut, tapi karena saat itu dia merasa yakin untuk bersekolah di situ, kami selaku orang tua yang ingin bersikap demokratis, mau tidak mau mengakomodasikan keinginannya.
Di minggu pertama bulan September 2013 itu, anakku makin sering bolos, sehari2 dia lebih banyak berada di mesjid, setiap aku telpon menanyakan keberadaannya, dia bilang sedang ada di mesjid, karena hatinya merasa tentram ketika berada di masjid. Aku mulai khawatir, karena kelihatannya psikologis anakku mulai terganggu, katanya dia sering merasa sedih dan putus asa, bahkan sering menangis tanpa sebab yang jelas, waduh ini salah satu tanda stress/depresi. Selain itu anakku juga merasa bahwa kalau dia tetap bersekolah di universitas tersebut, sulit untuk menggapai ridha Allah SWT. Sebenarnya di hati kecilkupun, aku merasa “salah” membiarkan anakku tetap bersekolah di universitas tersebut, sebelumnyapun aku sudah minta dia mempertimbangkan masak2 untuk mendaftar di universitas tersebut, tapi karena saat itu dia merasa yakin untuk bersekolah di situ, kami selaku orang tua yang ingin bersikap demokratis, mau tidak mau mengakomodasikan keinginannya.
Tanpa menunggu terlalu lama, aku memutuskan untuk menjemput anakku kembali ke Jakarta, karena dia mengeluh bahwa dia tidak mampu
lagi bertahan di universitas tersebut, berulangkali dia mohon maaf karena telah mengecewakan orang tuanya. Sebelumnya aku sudah menghubungi universitas swasta yang lokasinya dekat rumah dan masih satu yayasan dengan SMA
anakku dulu, universitas tersebut memang masih baru 3 tahun berdiri dan kebetulan ada jurusan yang diminati anakku. Alhamdulillah, karena perkuliahan baru berjalan sekitar 2 minggu,
universitas tersebut masih bisa menerima anakku untuk kuliah di sana. Aku
berharap anakku bisa mengikuti kuliah di jurusan yang memang diinginkannya,
sambil belajar untuk persiapan mengikuti SNMPTN tahun depan. Semoga saja dia
dapat lulus SNMPTN di universitas dan jurusan yang menjadi cita-citanya. Aamiin
Ya Allah.
Mungkin aku juga yang salah dalam mendidik anak-anakku sehingga secara mental mereka belum siap untuk tinggal jauh dari orang tuanya. Salah satu sifat burukku adalah sering terlalu khawatir sehingga sejak anak-anakku TK sampai SMA, semaksimal mungkin memfasilitasi mereka dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari seperti menyediakan supir untuk antar jemput dan tidak pernah membiarkan mereka naik angkutan umum atau naik motor sendiri. Juga menyediakan mbak-mbak asisten di rumah sampai 4 orang he…he (3 menginap dan 1 part timer), agar aku tenang meninggalkan anak2ku di rumah ketika aku bekerja. Hal ini menjadi bumerang untukku ketika mereka dewasa, anak-anakku menjadi kurang mandiri dan kurang berani atau nekad seperti teman-temannya, terutama dalam melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Yang lebih parah lagi ... ternyata akupun tidak siap juga jauh dari anak-anakku, waduh malunya he..he.
Mungkin aku juga yang salah dalam mendidik anak-anakku sehingga secara mental mereka belum siap untuk tinggal jauh dari orang tuanya. Salah satu sifat burukku adalah sering terlalu khawatir sehingga sejak anak-anakku TK sampai SMA, semaksimal mungkin memfasilitasi mereka dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari seperti menyediakan supir untuk antar jemput dan tidak pernah membiarkan mereka naik angkutan umum atau naik motor sendiri. Juga menyediakan mbak-mbak asisten di rumah sampai 4 orang he…he (3 menginap dan 1 part timer), agar aku tenang meninggalkan anak2ku di rumah ketika aku bekerja. Hal ini menjadi bumerang untukku ketika mereka dewasa, anak-anakku menjadi kurang mandiri dan kurang berani atau nekad seperti teman-temannya, terutama dalam melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Yang lebih parah lagi ... ternyata akupun tidak siap juga jauh dari anak-anakku, waduh malunya he..he.
Sekarang kami kembali berkumpul bersama-sama, sebagian kekhawatiranku sirna karena saat ini anak-anak berada di dekatku, paling tidak ketika malam tiba ... kami semua berkumpul di rumah. Tentu saja hal ini tidak akan berlangsung abadi, aku dan anak-anakku harus menyiapkan mental jika suatu saat nanti kami akan berpisah tempat tinggal. Sebagai orang tua yang makin tua dan anak-anak yang mulai dewasa, aku harus mulai berlatih untuk tidak terlalu khawatir ketika berjauhan dengan anak-anakku, karena pada suatu saat nanti, mereka akan membina kehidupannya sendiri selaku manusia dewasa dan mandiri. Mudah-mudahan ada hikmah dan pembelajaran yang dapat dipetik dari kejadian ini. Semoga Allah SWT selalu membimbing kami agar selalu berada di jalan lurus-Nya.
Salam Ina
No comments:
Post a Comment